Selasa, 01 Maret 2011

Terjebak kegelapan

Ketika aku membuka mata yang kulihat adalah cahaya-cahaya kuning yang disorotkan oleh lampu jalanan. Entah kenapa aku ada disana waktu itu, yang ku ingat hanyalah kegelapan yang makin lama, makin mendekat dan mulai menelanku. Semenit, dua menit, tiga menit berlalu, akhirnya aku mulai sadar dan mengingat semuanya.

Seperti biasa, setiap hari, setelah pulang sekolah, aku pasti langsung pergi menuju tempat les biola. Namun, entah mengapa sesampainya di tempat les aku merasakan perasaan yang tidak mengenakkan, bahkan membuat aku mual dan tak bertenaga. Tapi, aku berusaha menguatkan diriku dan tetap berlatih seperti biasa. Akan tetapi, makin lama, tubuhku terasa makin melemah dan akhirnya aku kehilangan kesadaran ditengah-tengah latihanku. 

Perlahan-lahan aku membuka kedua mataku dan mulai melihat sekelilingku, ternyata ada salah satu guru les biola ku yang duduk tepat disamping tempat aku berbaring. "Bu, Saya ada dimana?" tanyaku lemah pada guru les yang memakai kacamata berbingkai hitam itu. Guru yang dikenal dengan sebutan nenek sihir itu pun membetulkan posisi kacamatanya dengan jari telunjuknya dan menjawab "Di ruang guru, Nak. Bagaimana keadaanmu sekarang?". Terlihat sekali raut wajah yang penuh kekhawatiran yang dipancarkan guru yang sudah berumur 40-an itu. Selama ini, Ibu Ella -nama asli dari 'nenek sihir'- dikenal sebagai guru yang tegas dan galak, serta dandanannya yang jadul membuat perdikat itu melekat erat ditubuhnya. Namun, hari ini aku melihat sisi lain dari si nenek sihir dan merubah pandanganku terhadap beliau.

Lalu aku melihat jam tangan kulit pemberian Ayah yang ternyata jarum jam pendeknya sudah mengarah angka tujuh. Aku pun perlahan mengangkat tubuhku dan mulai bersiap untuk pulang. Namun guru itu menahanku, karena khawatir kalau-kalau aku jatuh pingsan lagi. Dengan raut wajah ramah beliau menawarkan diri untuk mengantarkanku pulang. Namun, aku meyakinkannya bahwa keadaanku sudah membaik dan menolak ajakannya dengan halus. Akhirnya, guru yang berpotongan rambut bob itupun menyerah dan membolehkanku pulang. Akupun mengambil tas yang berada tepat disamping ibu guru duduk, kemudian mencium tangan dan berpamitan dengan beliau. 

Tak seperti biasanya, entah kenapa aku memilih melewati jalan pemangsa manusia. "Jalan Pemangsa Manusia",  betul-betul nama yang tidak biasa, tapi sepertinya memang itu bukan nama yang sebenarnya. Sebenarnya, aku tak tahu banyak mengenai jalan itu. Tapi dari rumor yang ku dengar, banyak orang yang hilang bagaikan asap ketika melewati jalan itu. Ingin rasanya aku menjauhi jalan itu, tapi tak tahu mengapa, tubuhku seolah-olah menggiringku melewatinya, padahal hati ini ingin segera pergi menjauh dari jalan itu.

Setapak demi setapak, kaki ku langkahkan dijalanan yang menakutkan itu. Tak terdengar suara serangga malam sedikitpun, bahkan anginpun enggan memperdengarkan desirannya. Sepi dan sunyi hanya itu yang ku rasa. Hanya cahaya bulan dan sedikit penerangan dijalan yang menemaniku. Seketika aku tersentak, melihat jalan yang berada tak jauh dariku menghitam, dan makin lama kegelapan itu, makin mendekat, seolah mengejarku. Aku pun berlari sekuat tenaga ke arah jalan yang telah aku lalui. Aneh memang, karena entah kenapa badanku kini bisa selaras dengan hatiku. Tapi, aku tak begitu memikirkannya, yang aku tahu saat itu adalah cepat pergi dari jalan setan itu dan menjauh dari kegelapan yang mengejarku. Akan tetapi, kegelapan hitam itu lebih cepat dari langkahku, sehingga kemudian ia menelanku. Dan semua pandanganku pun mulai menghitam.

Setelah mengingat semuanya, aku mulai melangkahkan kakiku di jalan yang penuh dengan cahaya itu. Aku  memalingkan wajah ku ke arah kiri dan kanan secara bergantian. Ku lihat gedung-gedung menjulang tinggi disisi jalan besar yang kulalui. Jalan kosong dan bangunan yang juga terlihat tidak berpenghuni. Benar-benar pasangan yang menyeramkan. Bagaikan kota yang terlupakan.

Aku yang tidak tahu harus berjalan kemana. Yang bisa aku lakukan hanyalah mengikuti arah jalan besar itu dengan penuh rasa cemas, takut dan bingung. Tak lama, aku mulai melihat cahaya putih yang dipancarkan sebuah bangunan kecil. "Rumah?" bisikku kecil pada diriku sendiri. Aku merasa heran dengan rumah yang memancarkan cahaya yang mencurigakan itu. Bukan hanya itu yang membuat aku heran, aku pun merasakan kebingungan yang sangat dengan posisi rumah itu. Rumah putih bercahaya yang berada ditengah-tengah gedung-gedung pencakar langit itu berada ditengah jalan besar yang aku lalui. Benar-benar sebuah pemandangan yang tidak biasa.

Rasa penasaran dan takut bercampur menjadi satu. Disatu sisi aku penasaran dengan apa yang aku lihat. Namun, disisi lain, aku takut untuk mendekat. Akan tetapi, karena aku tak tahu lagi ke arah mana aku harus berjalan, aku mulai mengumpulkan semua keberanianku dan mendekati rumah bercahaya itu.

Semakin aku mendekati rumah itu, sinar yang dipancarkannya makin lama mulai membutakan pandanganku. Akupun tanpa sadar menutup kedua mataku. Lama-kelamaan aku merasakan sinar itu mulai meredup dan aku mulai membuka kedua mataku perlahan.

Aku terkejut dengan apa yang kulihat disana. Aku termangu kaku dengan apa yang ada didepan muka ku. Hingga sekujur tubuhku terasa membeku. Aku melihat mayat-mayat manusia digantung, tak bernyawa. Darah segar mengalir dari mayat-mayat itu dan menetes ke lantai. Mayat yang aku lihat begitu banyak dan dalam keadaan yang tidak utuh. Ada mayat yang tinggal kepala dan badan, ada mayat yang hanya kakinya saja, dan ada yang badan mayat tanpa kepala. Benar-benar kejam dan mengerikan. Begitu terkagum -ngeri- nya, aku bahkan tak sadar, ada suara langkah kaki yang makin lama, makin mendekat. Aku mulai bereaksi ketika ada yang menepuk pundak kananku.

Aku membalikkan tubuhku, dan melihat sesosok pria dengan golok besar ditangan kirinya yang berwarna merah. Rasanya aku dapat menebak dari mana warna merah segar itu berasal. Dan entah mengapa, saat itu, tubuh ini terasa berat untuk digerakkan. Bahkan aku lupa caranya untuk berteriak. Keringat dingin mengucur deras melalui sekujur tubuhku. Bulu kudukku berdiri. Seluruh tubuhku bergetar ketakutan. Air seni mulai membasahi kaki, celana dan lantai dimana aku berdiri. Badanku pun mulai melemas tak bertenaga dan aku langsung jatuh terduduk, tanpa sedikitpun pandanganku terlepas dari sosok 'penjagal' itu.

Lelaki itu juga hanya memandangiku dan tidak sama sekali tidak bergerak. Mematung. Tapi, kemudian ia mulai menggerakkan salah satu organ tubuhnya yang menggenggam erat golok yang berbau anyir itu dan menghantamkannya padaku. Aku yang saat itu tidak mempunyai tenaga, bahkan untuk menggerakkan ujung jariku tak bisa menghindarinya dan kegelapan kembali menelanku.

Samar-samar, aku mendengar suara-suara kecil yang muncul-tenggelam ditelingaku. Dan makin lama, suara-suara itu mulai jelas terdengar. Aku mulai merasakan badanku diguncang-guncangkan oleh seseorang dan aku perlahan membuka kedua mataku. Ketika aku mencoba membuka mata, ada cahaya terang yang seolah-olah hendak menusuk mataku. Awalnya, aku hanya bisa membuka sedikit mataku karena belum terbiasa dengan cahaya yang kemudian aku ketahui adalah sinar matahari. Namun, akhirnya aku bisa membuka mataku lebar-lebar dan melihat banyak orang sedang menggerubutiku.

"Akhirnya sadar juga." ucap seorang ibu bermake-up tebal padaku. "Kamu tidak apa-apa, nak?" tanya seorang pria setengah baya yang berada tak jauh dari muka ku. Aku mulai menggerakkan badanku dengan perlahan dan mendudukkan tubuhku ditanah. Aku merasa heran dengan banyak orang yang menatapku dengan penuh rasa khawatir dan tanda tanya. Beberapa orang menanyakan keadaanku. Dan yang lainnya berbisik-bisik membicarakanku. Aku ingin bicara, tapi suaraku tersangkut ditenggorokan ku yang kering.

Seorang pria tinggi besar pun terlihat memecah gerombolan manusia yang berkerumun disekitarku. Pria yang berseragam coklat itu kemudian membubarkannya dan perlahan mulai mendekatiku. Ia mengulurkan sebelah tangannya padaku, mungkin maksudnya melakukan itu adalah untuk membantu aku bangkit. Aku pun menyambut tangannya dan mulai berdiri.

Pria itu pun membawaku. Aku yang saat itu masih bingung dengan keadaanku sendiri, hanya bisa mengikutinya dari belakang. "Rasanya aku tahu tempat ini" fikirku. Pria bertopi coklat itu pun menghentikan langkahnya ketika kami berada di depan sebuah bangunan yang bertuliskan "Kantor Polisi". Aku pun mulai tersadar. Ternyata aku berada disebuah tempat yang tak jauh dari rumahku. Pantas saja aku merasa tidak asing dengan tempat ini. Saat itu, Aku diliputi oleh rasa gembira yang begitu besar, bahkan tanpa sadar aku berteriak, "YEAH!" kataku dan meloncat-loncat kegirangan. Pada awalnya aku tidak sadar dengan pandangan aneh orang-orang terhadapku. Tapi kemudian aku tersadar dan segera menghentikan aksiku. Memalukan memang, tapi aku tak ambil pusing. Yang aku rasakan sekarang, hanyalah rasa gembira dan lega yang sangat besar.

Kemudian, pria itu mengajakku masuk kedalam bangunan bercat putih itu. Disana, aku diinterogasi dengan berbagai pertanyaan. Dan akhirnya, pria yang kemudian aku ketahui seorang polisi berpangkat ajun brigadir polisi dua itu, menelpon ke rumahku. Tak lama, kedua orang tuaku menjemputku dan sedikitnya memarahiku. Kami pun meninggalkan kantor polisi itu.

Matahari mulai tenggelam dan bulan muncul menggantikannya. Aku yang saat itu berada dikamar,  membaringkan badanku di atas ranjang. Aku tak kunjung jua bisa menutup mata. Pertanyaan demi pertanyaan yang bermunculan di benakku mengenai peristiwa yang baru saja aku alami, membuat aku tak sanggup memejamkan mata.

Ditengah kegelisahan itu, cacing-cacing diperutku mengadakan demo. Sepertinya mereka kelaparan, karena tak kunjung ku beri makan. Akhirnya, aku bangkit dan pergi kearah dapur untuk memuaskan hasrat cacing-cacing yang menghuni perutku ini. Ketika aku hendak menuju dapur, aku mendengar suara orang yang sedang memakan sesuatu dari arah tempat itu. Karena penasaran, aku mempercepat langkah dan suara itu semakin jelas.

Setelah aku sampai di depan dapur, aku tak bisa melihat apapun, karena keadaannya yang gelap. Akupun mulai meraba-raba dinding dapur untuk mencari tombol lampu. Dan ketika aku menyalakan lampu, orang yang memakan sesuatu itu terkejut. Aku pun ikut terkejut, karena melihat orang tuaku memakan daging yang terlihat seperti potongan tubuh manusia. Tubuhku membeku. Pandanganku pun kosong. Satu pertanyaanpun muncul dipikiranku. Apakah aku sudah kembali ketempat asalku atau .....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar